Saya masih ingat sebuah
lelucon mengenai cita-cita yang ada di internet. Bunyinya seperti ini; “Kalau kau punya cita-cita, gantungkanlah
setinggi langit. Karna jika kau jatuh, jatuhlah kau ke dalam kubangan Bir
Bintang.
Lawakan ini ada
benarnya, oleh karena itu saya terus pegang erat. Sekarang, coba tanyakan pada
anak-anak; “Ketika besar, kalian ingin
jadi apa?” Kompak mereka jawab;
polisi, tentara, atau dokter. Memang ada yang ganjil, yang cita-citanya
setinggi tanah. Tapi jumlahnya tidak seberapa.
Dulu saya juga
demikian. Ketika duduk di bangku kelas tiga SD, guru saya bertanya kepada satu
kelas; “Apa cita-cita kalian?” Jawaban
anak-anak tidak jauh dari polisi ya dokter, kecuali saya dan beberapa orang.
Dengan enteng saya
jawab; “Ingin jadi presiden ibu guru.”
Saya sangat bersyukur, karena saat itu Soeharto sudah lengser, jadi kesempatan
menjadi presiden itu masuk akal. Coba bayangkan jika jawaban itu muncul di era
Orde Baru, barangkali bapak presiden bakal bilang saya melakukan permufakatan
makar. Serem kan?
Seandainya saat ini
saya masih duduk di SD, barangkali jawaban yang dilontarkan mungkin sedikit
berubah; “Ingin jadi Jokowi, Presiden
Republik Indonesia”. Sayangnya, beberapa waktu yang lalu saya sudah tidak
ingin menjadi presiden.
Bukan karena saya tidak
segagah SBY atau sekaya Bung Ical. Bukan. Wong
Jokowi saja yang cungkring dan klemar-klemer juga bisa jadi presiden kok. Kekayaannya juga tidak
seberapa. Perubahan ini tidak bisa dilepaskan dari andil Joko Widodo.
Lho? Bukanya Jokowi dan
Joko Widodo orang yang sama? Nah, ini
dia! Kalau pikiranmu seperti itu, pasti kamu kebanyakan ngetwit pake hastag
#save dan ngejekin orang penasbung dan penastak. Keduanya jelas beda dong.
Jokowi itu mantan
walikota Solo yang juga mantan Gubernur Jakarta yang sekarang jadi petugas
partai yang sedang ditugaskan sebagai presiden. Mantannya sudah dua –jabatan,
bukan yang lain-. Gemarnya ngomong “bukan urusan saya.” Seorang politisi dan pemimpin yang benar-benar amat sangat biasa saja.
Karena itu, setelah ditimbang
berulang kali, saya tidak ingin (lagi) jadi presiden kaya Jokowi tapi jadi Joko Widodo, orang Solo lulusan UGM yang
rumahnya pernah digusur sampe tiga kali dan kerja jadi pengusaha mebel.
Setelah baca sampai
paragraf di atas, para pendukung Jokowi pasti langsung mengelu-ngelukan tulisan
ini dan orang-orang yang kontra langsung pada nyinyir. Orang Indonesia hari ini
memang aneh, memandang politik seperti seorang suporter sepak bola.
Tribun sini isinya para
pendukung fanatik, kubu sebelah isinya pengkritik yang fanatik. Keduanya tidak
bisa menerima kelebihan dan kekurangan kesebelasan yang didukung. Untung saja
saya suka nonton di tribun VIP. Kadang muji kadang nyinyir, tapi seringkali lebih
dianggap sebagai hiburan.
Lalu apa sih bagusnya
Joko Widodo dibanding Jokowi? Pertama Joko Widodo itu Kapitalis. Ya meski tidak
selevel dengan pemilik Djarum ataupun Gudang Garam. Sebagai Kapitalis, Joko
Widodo sukses menghisap kaum buruh dengan dalih membuka lapangan pekerjaan.
Meski lagi-lagi upahnya
tidak seberapa. Ingat sisa keuntungan (nilai lebih) yang paling banyak selalu
masuk ke kantong sang empunya bisnis. Walau gajinya tidak seberapa, lulusan S1
saja pada tahun 2016 gajinya cuma Rp2 juta di Solo, tapi bisa kasih makan ke
keluarga orang.
Kedua; mempertahankan
sekaligus memperbanyak kekayaan merupakan hal yang penting bagi seorang
Kapitalis. Itu kenapa Gibran, anak pertamanya, didorong oleh Joko Widodo jadi
pebisnis martabak. Bukan komisaris BUMN. Bayangin
aja kalau jadi komisaris, ketika presidennya ganti kelar dah pekerjaan lu.
Anaknya yang paling
bungsu, Kaesang, juga tidak jadi komisaris apalagi PNS. Cukup Youtuber.
Pekerjaan yang bakal ngetren pada
tahun-tahun mendatang. Kalau dia emang pintar, pake popularitas bapaknya biar channel Youtube-nya makin rame.
Kelebihan Joko Widodo
yang ketiga dan yang paling penting; kerja sampingan sebagai presiden. Sebagai
seorang Kapitalis, usaha Joko Widodo terbilang bagus. Bahkan gerai martabak
anaknya sudah buka cabang hingga luar Jawa. Pendapatannya pastilah sederas
sungai Bengawan Solo. Tidak perlu khawatir besok mau makan apa, berbeda 180
derajat dengan saya.
Dengan kata lain, Joko
Widodo telah bebas secara finansial pada umur 55 tahun. Sekarang ini seharusnya
dia berleha-leha di rumah sambil nimang cucu. Tapi dasar Kapitalis ngehek, kalau bisa dapat duit puluhan
juta kenapa ditolak?
Bedanya, kalau Kapitalis-Kapitalis
sukses suka bikin buku atau jadi motivator, si Joko Widodo malah pilih jadi
presiden. Gajinya memang kalah gede,
tapi lumayanlah masih dapat sripilan di
luar bisnis mebel.
Barangkali (juga)
karena bayaran jadi presiden lebih kecil dibanding motivator, pengusaha mebel
ini sekarang mulai merambah ke endorse berbagai
produk. Sebut saja jaket Bomber, payung biru, dan yang paling baru sandal biru.
Hebatnya produk-produk tersebut langsung amblas diborong konsumen. Mantap emang.
Ya meski akhir-akhir
ini media sekuler mengkait-kaitkan warna biru payung dan sandal dengan SBY dan
partai Demokrat, tapi saya pikir itu cuma metode marketing saja. Namanya juga Kapitalis, soal jualan pasti jagolah.
Jadi buat kamu yang
butuh jasa marketing ampuh, bisa
dicoba kontak Istana Merdeka. Tidak jelas memang berapa tarif endorse perproduk. Tapi mungkin bisalah
dapat diskon beberapa persen. Bilang saja “Pak
katanya njenengan cinta produk Indonesia, masa bantu promosinya aja kudu bayar
mahal?”
Kira-kira itulah alasan
kenapa saya memilih bercita-cita ingin jadi Joko Widodo, Kapitalis yang nyambi jadi presiden. Bukan terbalik, jadi
presiden yang nyambi Kapitalis.
Paling tidak, kalau gagal jadi Kapitalis, bisalah jadi presiden. Dengan kata
lain, masih bisa nyebur ke kubangan
Bir Bintang setelah jatuh dari langit.
Dasar
penulis brengsek! tulisan ini keterlaluan bagus buat Joko
Widodo nih! Bentar, sabar bro, tunggu
saja tulisan selanjutnya ‘Kenapa Saya Tidak Suka Jokowi’. Maka dari itu, terus
pantengin blog ini.
Ditulis
oleh: Lebowski ; Sumber gambar: Donkey Hotey dan Ahmad Syauki
2 komentar
Write komentarsaya jadi teringat akan seseorang gara2 postingan ini, hehehe makasih min (y)
Replywah keingat sama siapa tuh gan :V
ReplyEmoticonEmoticon